Ingat Yuliana dan Yuliani Kembar Siam Dempet Kepala? 35 Tahun Lalu Berhasil Dioperasi, Kabarnya Kini
Masih ingat Yuliana dan Yuliani bayi kembar siam dempet kepala?
35 tahun lalu, Yuliana dan Yuliani berhasil dioperasi.
Keduanya merupakan kembar siam pertama di Indonesia yang berhasil dipisahkan.
Puluhan tahun berlalu, Yuliana dan Yuliani menjalani hidup normal bahkan berhasil meraih mimpi.
Yuliana adalah seorang bergelar doktor, sementara Yuliani menjadi seorang dokter.
Kesuksesan Yuliana dan Yuliani tak lepas dari peran seorang Dokter Padmosantjojo.
Dokter Padmosantjojo merupakan sosok yang berjasa dalam hidup mereka.
Baru-baru ini, kisah kembar siam Yuliana dan Yuliani kembali viral di media sosial.
Beredar foto Yuliana dan Yuliani, serta Dokter Padmosantjojo dan istrinya.
Foto itu viral disertai dengan kisah inspiratif mereka.
Foto itu, salah satunya beredar di Grup WhatsApp Aswaja.
Tampak foto tersebut diupload Anggota Fraksi PKB DPR RI asal Sulsel Andi Muawiyah Ramli.
"Masih ingat dengan bayi dempet kepala, Yuliana dan Yuliani?
Kiri berdiri Yuliani sudah jadi dokter, yang kanan Yuliana barusan lulus doktor peternakan IPB.
Mereka berdua terlahir sebagai bayi kembar siam dempet kepala.
Dioperasi/dipisahkan oleh Prof. Padmo Santjoko kemudian keduanya diambil anak oleh Prof. Padmo.
Duduk berdua adalah Prof. Padmo beserta istri.
Kisah perjalanan hidup orang-orang yg luar biasa. Orang tua asli Yuliana & Yuliani adalah kuli bangunan.
Tapi dengan kasih sayang orang tua angkat, anak-anak ini bisa menjadi doktor dan dokter.
Luar biasa, gelar professor yang sadar akan besar tanggung jawab terhadap sesama, dengan kasih tulus memberkati orang lain maka Thuan berkenan atas dirinya dan dengan kuasa serta kasih Allah yang bekerja dalam hidupnya mewujudkan rasa bahagia sejati, damai sejahtera yang penuh sukacita," demikian narasi yang dikirimkan Andi Muawiyah Ramli di grup WA tersebut.
Kisah mereka bermula tahun 1987 silam, saat Yuliana dan Yuliani, anak pasangan Tularji dan Hartini dari Tanjung Pinang ini terlahir kembar siam dempet di kepala secara vertikal (kraniopagus).
Kraniopagus adalah kembar siam yang dempet di bagian belakang, atas atau samping kepala, tetapi tidak pada wajah.
Melansir Mayo Clinic, kembar kraniopagusberbagi sebagian dari tengkorak, tetapi otak mereka biasanya terpisah, meskipun mereka mungkin berbagi beberapa jaringan otak.
Kisah Yuliana-Yuliani ini cukup mendebarkan secara nasional, khususnya bagi dunia kedokteran Indonesia.
Pada usia 2 bulan 21 hari, tepatnya pada 21 Oktober 1987, Yuliana dan Yuliani mencetak sejarah menjadi kembar siam pertama di Indonesia yang berhasil dipisahkan di Indonesia oleh dokter Indonesia.
Berkat upaya keras yang dilakukan tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Yuliana dan Yuliani bisa dipisahkan serta hidup normal.
Adalah Dokter Padmosantjojo, ahli bedah saraf RSCM, yang berperan banyak pada operasi pemisahan si kembar siam.
Dengan ketelitiannya, pria kelahiran Kediri, 26 Februari 1937 ini memisahkan selaput otak (duramater) yang berlekatan dengan pisau bedah biasa dan mata telanjang.
Operasi pada 21 Oktober 1987 tersebut jadi tonggak sejarah bidang kedokteran di Indonesia, khususnya bedah saraf.
Bagi Padmosantjojo, operasi Yuliana Yuliani menjadi karya adiluhung (masterpiece) dalam kariernya sebagai dokter.
"Aku tak ingin karyaku rusak, mati karena mencret misalnya. Maka harus aku openi (rawat)," ujarnya di rumahnya kala itu.
Tak hanya mengoperasi secara gratis, Padmosantjojo juga membawa Yuliana Yuliani dan orang tuanya ke Jakarta.
Padmosantjojo mencarikan rumah untuk ditinggali keluarga tersebut.
Ia mendukung pemenuhan kebutuhan nutrisi si kembar siam dan memantau tumbuh kembang mereka selama di Jakarta.
Sebab, baginya, masa di bawah usia lima tahun jadi fase penting pertumbuhan otak seseorang.
Setelah Yuliana Yuliani dan orang tuanya pulang ke Tanjung Pinang pun, Padmosantjojo tetap memberikan dukungan dana untuk keperluan pendidikan si kembar siam hingga kini.
"Ternyata bisa, tuh, Yuliana Yuliani sampai lulus universitas. Saya senang," kata Padmosantjojo sambil tersenyum, dilansir Kompas.com.
Yuliana dan Yuliani Kini
Kini, si kembar siam Yualiana dan Yuliani telah tumbuh dewasa.
Yuliani jadi dokter dari Universitas Andalas (Unand), Padang.
Sementara Yuliana adalah doktor ilmu nutrisi dan teknologi di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Yuliana menuturkan, meski pernah menjalani operasi pemisahan kepala dengan risiko tinggi, ia dan kembarannya mampu bersaing dengan anak lain yang terlahir normal di bidang pendidikan.
Bahkan, capaian mereka terbilang luar biasa.
Yuliani menyampaikan, operasi pemisahan oleh Pakde, begitu Yuliana Yuliani biasa memanggil Dokter Padmosantjojo, memungkinkan mereka meraih capaian seperti sekarang.
Jika tak dioperasi saat itu, amat mungkin ia menghabiskan hidup dengan terbaring karena sulit bergerak akibat kembar siam.
Menurut Yuliana, pengalaman hidup menjalani operasi pemisahan membentuk mereka seperti saat ini.
Banyak pihak berkontribusi dalam keberhasilan mereka, yakni orang tua, Pakde, dan masyarakat yang mendoakan agar operasi pemisahan tahun 1987 silam berhasil.
Oleh karena itu, Yuliana menjadikan hidupnya sebagai ucapan terima kasih kepada mereka yang berjasa dalam hidupnya.
"Kami ingin membuat bangga orang tua, Pakde juga. Mereka tersenyum bangga atas prestasi kami sudah cukup bagi saya," ujarnya.
Yuliana menambahkan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, tanggung jawab sosial terhadap masyarakat kian tinggi.
Itu yang selalu diajarkan orang tua dan Pakde.
Setelah operasi pemisahan, Pakde jadi sumber inspirasi bagi si kembar Yuliana Yuliani.
Sebagai dokter, Yuliani dididik Pakde agar tak berorientasi uang. Pakde mengajarkan, motivasi jadi dokter seharusnya menolong sesama.
"Pakde selalu mengajar kami berbagi dengan orang lain dan memberi manfaat bagi orang banyak," ucap Yuliani.
Ke depan, Yuliana ingin membagi ilmunya dengan menjadi dosen atau peneliti.
Sementara Yuliani ingin meneruskan pendidikan dokter spesialis bedah saraf seperti Pakde, sumber inspirasinya.
Ya, Dokter Padmosantjojo selama di RSCM selalu menggratiskan bedah saraf yang dilakukannya.
"Saya dibayar 2M per pasien. Makasih, Mas. Matur nuwun, Mas," ujarnya sambil tertawa.
Menurut Padmosantjojo, perhatiannya pada Yuliana Yuliani juga merupakan bentuk protes kepada pemerintah yang disampaikan dengan contoh nyata.
Bahwa untuk memberi akses layanan kesehatan tak perlu jargon politik, hanya perlu empati dan kemauan menolong mereka yang membutuhkan.
Padmosantjojo, yang belajar bedah saraf di Rijk Universiteit, Groningen, Belanda, menyatakan Indonesia merdeka, tapi akses warga pada layanan kesehatan, khususnya bedah saraf, belum merata.
Tidak semua warga bisa mengakses layanan ini, apalagi sejumlah provinsi belum punya dokter spesialis bedah saraf.
Hal ini membuat pasien yang butuh menjalani bedah saraf bisa meninggal karena tak tertangani.
Penghargaan prestasi dokter bedah saraf pun seolah enggan dilakukan pemerintah.
Padmosantjojo pernah ditawari bekerja di Belanda dan akan dikukuhkan sebagai guru besar di Groningen, tetapi ia memilih balik ke Indonesia.
"Demi bangsa," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut. (*)